Selasa, 20 Juli 2010

“Gaza Kecil” Pun Hadir di Mavi Marmara

deskripsi gambarBelum lagi relawan sampai ke Gaza, ‘Gaza Kecil’ telah hadir di Kafilah Freedom Flotilla
Gaza Tak Butuh Aku

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan aku.

Masjidil Aqshamilik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina. Akulah yangbutuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak – betapa pun sedikitnya – menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.
Sungguh mudahmenjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha… Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.

Demikian renungan ruhani Santi Soekanto, salah satu dari 12 orang relawan Indonesia yang ada di kapal Mavi Marmara untuk misi Freedom Flotilla. Di atas kapal itu ia bersama suaminya, Dzikrullah W. Pramudya, wartawan Hidayatullah Media Group yang juga pernah memimpin majalah Suara Hidayatullah. Seorang lainnya dari Hidayatullah Media Group adalah Surya Fachrizal.

Santi menuliskan renungannya ini saat kapal Mavi Marmara sedang berhenti bergerak di Laut Mediterania untuk menanti datangnya satu lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Sementara pada saat itu berbagai ancaman Israel terus disebarkan untuk menghadang kafilah Freedom Flotilla.

Kapal Mavi Marmara berikut Kafilah Freedom Flotilla berangkat dari Pelabuhan Antalya, Turki, pada Kamis 27 Mei. Tujuan perjalanan ini untuk menembus pengepungan Israel demi mengantarkan bantuan kemanusiaan ke Gaza, kawasan Palestina, yang sudah hampir 4 tahun terakhir ini diembargo secara militer, politik, dan ekonomi oleh Israel, Amerika Serikat, Mesir, dan lain-lain. Dalam kafilah ini terdapat 600 orang aktivis kemanusiaan dari lebih 50 negara.

Kafilah terdiri dari 9 kapal yang digerakkan oleh 6 organisasi non-pemerintah dari Turki, Inggris, Swedia, Yunani, Aljazair, dan Malaysia, di bawah kordinasi IHH (Insani Yardim Fakvi, organisasi kemanusiaan terbesar di Turki). “Dengan membersihkan hati dan meluruskan niat, hanya untuk mencari ridha Allah, Bismillahirrahmaanirrahiim… kami berdua belas mewakili 220 juta rakyat Indonesia, ikut dalam kafilah ini membantu saudara-saudara kita di Gaza yang sedang dizalimi sekaligus menyatakan 'tidak' kepada kebiadaban penjajahan Israel selama 63 tahun terakhir ini,” kata Ust. Ferry Nur, Ketua delegasi Indonesia yang juga Ketua Umum KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina), menjelang keberangkatan.

Fahmi Bulent Yildirim, Presiden IHH, menyatakan, kafilah Freedom Flotilla, akan berlayar dari perairan internasional langsung ke perairan Gaza yang jauhnya lebih 80 mil dari perairan yang dikuasai Israel. “Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi Israel untuk menghalangi masuknya kapal-kapal ini ke Gaza,” tegas Bulent.

Namun apa yang terjadi? Sesaat setelah kafilah Freedom Flotilla bergerak kembali menuju Gaza, Zionis Israel yang dikenal dengan perilaku barbarnya menyerang pada Senin pagi 31 Mei seusai salat Subuh. Penyerangan dilakukan saat kapal Mavi Marmara berada di perairan internasional. Kantor berita BBC mengatakan, Israel melakukan serangan dan penangkapan terhadap kafilah di perairan internasional, yang jaraknya lebih dari 150 km (90 mil) di lepas pantai Gaza.

Akibat serangan mematikan Angkatan Laut Zionis Israel tersebut, 9 orang syuhadah dan 40 orang lainnya luka-luka akibat tertembak. Dua di antara korban tembakan tentara Israel adalah Oktavianto Emil Baharudin dari KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina) dan Surya Fachrizal, wartawan Hidayatullah Media Group.

Menggambarkan saat penyerangan dan sesudahnya Dzikrullah W. Pramudya, wartawan Hidayatullah Media Group dan pendiri Sahabat Al-Aqsha.com mengatakan, "Saya bersama 11 orang saudara Indonesia lain ditaqdirkan Allah berada di kapal Mavi Marmara, kapal utama kafilah kemanusiaan Armada Kebebasan (Freedom Flotilla). Kapal itu menuju Gaza, tapi sebagaimana Anda ketahui, kapal itu diserbu dan dibajak oleh tentara komando Israel. Sembilan orang relawan syahid. Dari sekitar 40 orang yang luka-luka, ada 2 orang dari Indonesia. Yang satu Oktavianto dari KISPA, tangan kanannya patah kena peluru sampai tulangnya terlihat. Yang satu lagi Surya, wartawan Majalah Suara Hidayatullah, peluru menghantam dada kanannya terus bersarang di perut kanan dan sekarang sudah dikeluarkan. Lalu kami ditangkap dan sempat dipenjara. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah…

Ketika sekitar 600 orang relawan kemanusiaan di kapal itu diborgol, ditodong senjata, dibentak, dipukul, ditendang, dan dijemur di terik matahari Laut Tengah oleh tentara komando Israel bersenjata lengkap dan bertutup muka…



Kekejian di “Gaza Kecil”

Setelah serangan barbar pasukan Zionis Israel itu, enam dari delapan kapal Freedom Flotilla, termasuk Mavi Marmara, berlabuh di Pelabuhan Ashdod yang dikuasai Israel. Status kapal-kapal tersebut seluruhnya berada dalam kontrol tentara Israel. Pemerintah Israel menahan dan memenjarakan para aktivis yang ikut dalam rombongan misi kemanusiaan tersebut jika mereka tidak mau dideportasi ke negara asalnya. Sedikitnya 600 orang aktivis yang berada di atas kapal ditahan Israel.

Yang menarik, aparat Israel membuat tipu daya kepada aktivis yang ditahan saat mereka diinterogasi. Mereka disebutkan memasuki Israel secara ilegal. Pengalaman Edward Peck dari AS contohnya. Mantan Dubes AS untuk Mauritania, Edward Peck, yang ikut dalam rombongan kapal Mavi Marmara, mengungkapkan pengalamannya saat diinterogasi.

"Israel secara illegal menguasai Gaza, seperti yang dipahami oleh dunia. Malah Israel mengatakan, 'Anda tidak bisa masuk ke wilayah ini karena kami sedang mempertahankan diri.' Ketika kami ditangkap dan diarahkan ke Ashdod, salah seorang pejabat Israel bertanya kepada saya bahwa saya akan dideportasi. Saya jawab, Ok. Lalu dia berkata, 'Anda telah melanggar hukum Israel.' Lalu saya jawab, 'maaf, saya diarahkan ke sini, hukum Israel apa yang saya langgar?'"

"Dan dia menjawab, 'Anda masuk ke wilayah Israel secara illegal. Saya bilang, 'OK, kapal ditangkap secara paksa dan saya dibawa kemari dengan paksa, di bawah tekanan, dan terpaksa masuk ke negara Anda yang bertolak belakang dengan keinginan saya, dan Anda sebut saya masuk secara illegal’ Lalu kita berbicara dengan bahasa dan pijakan yang berbeda. Namun itulah mengapa mereka mendeportasi saya, karena saya dianggap masuk secara illegal (padahal) saya tidak ingin masuk ke sana."

Sementara Santi di hadapan petugas imigrasi dipaksa membubuhkan sidik jarinya pada sebuah mesin dalam suatu interogasi. Namun Santi menolak melakukannya. "Anda telah memasuki negara Israel, sehingga Anda harus melakukannya!" kata petugas imigrasi Israel.

"Aku tidak masuk Israel. Aku tidak datang ke sini dengan pilihan. Prajurit Anda menculik dan membawa aku ke sini dengan paksa, "jawab Santi.

"Apakah Anda menolak untuk melakukan ini?"

"Saya menolak."

"Anda harus melakukannya!" Pria itu sekarang mulai berteriak dengan pembuluh darah di leher menggembung.

Dia kemudian beralih ke orang lain, kemungkinan atasannya, dan berbicara cepat dalam bahasa Ibrani. Orang kedua itu lantas mendekati Santi, masih berdiri di depan sebuah kamera digital yang terpasang pada bagian atas mesin.

"Dengar, ini hanya untuk tujuan ID. Letakkan saja jari Anda di sana." Orang kedua itu mencoba memberi alasan pada Santi.

"Anda mengambil gambar saya, Anda telah mengambil paspor saya, apa lagi yang Anda butuhkan? Bagaimana saya tahu bahwa Anda tidak akan menggunakan sidik jari saya untuk beberapa tujuan lain, mungkin untuk mengikuti gerakan saya," ucap Santi tetap menolak.

"Saya berjanji kepada Anda bahwa kami tidak akan menggunakannya untuk mengikuti aktivitas Anda ..."

Santi tertawa mendengarnya. "Tentara Anda telah membunuh orang , sekarang Anda membuat janji..."

"Saya baru saja bepergian ke beberapa negara seperti Thailand, dan saya juga harus memberikan sidik jari saya ada di sana," kata pria itu lagi, suaranya sekarang meningkat.

"Anda bepergian, aku diculik…" ucap Santi. Lain lagi dengan yang dialami Ken O'Keefe, relawan asal Amerika Serikat keturunan Irlandia. Dia mengalami luka berat justru ketika berada di Israel.

Pada hari Sabtu (5/6), Ken mengatakan, dia diserang secara brutal oleh tentara Israel di bandara sebelum diberangkatkan ke Turki. Akibatnya Ken harus dirawat akibat kekerasan fisik minimal tiga kali lipat lebih berat dibandingkan ketika ia turun dari kapal. Dia dirawat inap di rumah sakit akibat luka-luka pukulan tersebut."Pada insiden penyerangan tentara Israel di kapal Mavri Marmara, saya ditanya, 'apakah saya menggunakan kamera atau mempertahankan kapal?'" kata Ken.

“Saya secara antusias berkomitmen untuk mempertahankan kapal. Meskipun saya termasuk orang yang tidak suka kekerasan, kenyataannya saya percaya cara tanpa kekerasan harus jadi pilihan pertama. Meski demikian, saya bergabung dengan usaha pertahanan Mavri Marmarra karena memahami kekerasan bisa saja dilakukan terhadap kami dan kemungkinan kami juga terpaksa untuk menggunakan kekerasan dalam bela diri. Saya mengatakan hal itu langsung kepara agen Israel, mungkin dari Mossad atau Shin Bet. Dan saya katakan, pada serangan yang dilakukan pagi hari itu, saya secara langsung terlibat dengan usaha pelucutan senjata atas dua pasukan komando Israel.”

“Hal itu harus dilakukan atas pasukan komando yang sudah membunuh dua orang saudara relawan yang saya lihat hari itu. Satu relawan ditembak dengan peluru bersarang di dahinya, tampak jelas sebagai eksekusi. Saya tahu pasukan komando berusaha membunuh ketika saya berhasil merebut pistol ukuran 9 mm dari salah satu anggotanya. Saya memegang senjata itu di tangan saya dan sebagai mantan Angkatan Laut AS dengan pelatihan senjata yang cukup, saya sangat mampu menggunakan senjata tersebut ke arah pasukan komando yang mungkin telah membunuh salah satu relawan.
Namun, saya tidak melakukan itu. Saya mengambil senjata itu, mengeluarkan peluru yang merupakan peluru tajam asli, kemudian memisahkannya dan menyembunyikan senjata itu. Saya melakukan hal itu dengan harapan kami dapat mengatasi serangan tersebut dan mengajukan senjata itu sebagai bukti dari percobaan kriminal pihak Israel untuk suatu pembunuhan massal.”

“Saya juga membantu secara fisik memisahkan satu anggota komando dari serangan senapan, ketika relawan lain dilemparkan ke laut. Kami pun menguasai tiga orang pasukan komando tanpa senjata dan tak berdaya. Mereka hidup karena belas kasihan kami. Mereka sangat jauh dari jangkauan anggota komando lain yang berniat membunuh. Mereka di dalam kapal dan dikelilingi oleh sekitar 100 relawan atau lebih. Saya melihat ke arah mata tiga pria tersebut dan saya yakin mereka memiliki rasa takut terhadap Tuhan di dalam diri mereka. Mereka juga memandang ke arah kami dan berharap kami memahami jika sedang berada di posisi mereka. Saya tidak ragu, mereka tidak percaya akan ada jalan mereka bisa selamat hari itu. Mereka tampak seperti anak kecil yang ketakutan di hadapan ayah yang kejam. Namun, mereka tidak menghadapi musuh yang tak berperasaan hari itu. Bahkan, relawan wanita menyediakan pertolongan pertama dan kemudian mereka dibebaskan dengan memar, tapi hidup. Mereka dapat hidup di hari esok. Dapat merasakan matahari di atas kepala dan memeluk orang tercinta. Tak seperti para relawan yang dibunuh. Meskipun kami berduka atas kehilangan saudara-saudara yang meninggal, merasa marah terhadap para tentara itu, namun kami melepas mereka…”

Sedang bagi Dzikrullah, apa yang dialaminya tertuang dalam suratnya, “Ya Allah… Kami berniat pergi ke Gaza untuk menengok saudara-saudara kami yang sedang diembargo, dikepung, diancam, Alhamdulillah, belum lagi sampai kami di Gaza, sudah Engkau hadirkan “Gaza” ke dalam kapal ini. Rupanya inilah suasana yang setiap hari dirasakan saudara-saudara kami di Gaza, di Masjidil Aqsha, di Palestina…”

“Ya Allah… Kami merasakan penjajahan dan penindasan yang menjijikkan ini beberapa belas jam, paling lama berpuluh jam, tapi saudara-saudara kami merasakannya setiap hari selama embargo 3 tahun ini. Bahkan saudara-saudara kami di seluruh Palestina dan Masjidil Aqsha merasakannya setiap hari selama 63 tahun dijajah Israel…”

Memang Gaza hanya membutuhkan pertolongan Allah, karena Gaza milik Allah, tetapi perjuangan para relawan niscaya tidak akan sia-sia.
www.hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Quotes Syaikh Aidh Al Qorni (Penulis buku La Tahzan)

Berhenti sejenak Berhentilah sejenak. Renungkan, hayati, dan bertakwalah kepada Allah dalam urusan diri dan masa depanmu. Karena pada suatu ...