Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada sayyidil
Anam, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Disunnahkan untuk menambah puasa 'Asyura
dengan puasa pada hari sebelumnya, yaitu tanggal Sembilan Muharram yang
dikenal dengan hari Tasu’a. Tujuannya, untuk menyelisihi kebiasaan
puasanya Yahudi dan Nashrani.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’
Lalu beliau Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan
selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh
secara keseluruhan, karena Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Apa Hikmah Berpuasa Hari Tasu’a?
Imam al-Nawawi rahimahullaah menyebutkan tentang tiga hikmah dianjurkannya shiyam hari Tasu’a: Pertama, maksud disyariatkan puasa Tasu’a untuk menyelesihi orang Yahudi yang berpuasa hanya pada hari ke sepuluh saja.
Kedua, maksudnya adalah untuk menyambung
puasa hari ‘Asyura dengan puasa di hari lainnya, sebagaimana dilarang
berpuasa pada hari Jum’at saja. Pendapat ini disebutkan oleh al-Khathabi
dan ulama-ulama lainnya.
Ketiga, untuk kehati-hatian dalam
pelaksanaan puasa ‘Asyura, dikhawatirkan hilal berkurang sehingga
terjadi kesalahan dalam menetapkan hitungan, hari ke Sembilan dalam
penanggalan sebenarnya sudah hari kesepuluh.
Dan alasan yang paling kuat disunnahkannya puasa hari Tasu’a adalah
alasan pertama, yaitu untuk menyelisihi ahli kitab. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullaah dalam al Fatawa al-Kubra berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam melarang bertasyabbuh dengan ahli kitab dalam banyak hadits. Seperti sabda beliau tentang puasa ‘Asyura,
لَئِنْ عِشْتُ إلَى قَابِلٍ لاَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Ibnu Hajar rahimahullaah dalam catatan beliau terhadap
hadits, “Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada
hari kesembilan”, Keinginan beliau untuk berpuasa pada hari kesembilan
dibawa maknanya agar tidak membatasi pada hari itu saja. Tapi
menggabungkannya dengan hari ke sepuluh, baik sebagai bentuk
kehati-hatian ataupun untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Dan
ini merupakan pendapat yang terkuat dan yang disebutkan oleh sebagian
riwayat Muslim.” Wallahu Ta'ala A'lam.
Sumber: www.voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar