Surakarta - Pendaratan darurat
pesawat Garuda Indonesia GA421 di Sungai Bengawan Solo pada 16 Januari 2002
lalu sangat legendaris. Sang pilot, Abdul Rozaq (58) dalam kondisi mati mesin,
listrik dan saluran komunikasi, mengaku detik-detik kematian sudah di depan
mata. Kopilot Haryadi Gunawan tetap berusaha mengabarkan "Mayday
Mayday" ke ATC meski saluran komunikasi sudah mati. "Sudah taruh
saja, mari kita berdoa," pinta pilot Rozaq.
Pilot Abdul Rozaq saat ditemui di rumahnya |
Saat itu pilot Abdul Rozaq sudah
pasrah karena semua usaha menyalakan mesin tidak berhasil. Kala pesawat masih
terguncang-guncang dalam awan Cumulonimbus (CB), pilot Rozaq memohon bimbingan
Tuhan.
"Saya berdoa, dalam doa itu
saya berdoa 'Ya Allah, saya dalam bimbingan-Mu. Saya ikhlas, saya siap apapun
yang terjadi'. Dan waktu itu detik-detik kematian di depan mata," tutur
Abdul Rozaq dengan suara sedikit bergetar saat mengisahkan detik-detik
menegangkan menjelang pendaratan darurat kala ditemui detikcom di rumahnya,
Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/1/2015) lalu.
Rozaq mengenang, sembari berdo’a,
dirinya tetap mengendalikan pesawat. Do’a tak henti dilafalkan.
"Sambil tetap pasrah dan
saya berdoa 'Ya Allah, hanya satu permintaan saya. Selamatkan penumpang kami'.
Dia (kopilot) juga berdoa. Kemudian terakhir, saya takbir, Allahu akbar, tiga
kali"," jelasnya.
Usai mengucap takbir 3 kali,
Rozaq kembali konsentrasi mengemudikan pesawat. Kopilot memonitor ketinggian
yang terus turun, dari awal masuk awan CB, 31 ribu kaki, menjadi 17 ribu kaki.
Saat itu, Rozaq mengaku sudah keluar dari awan CB, dan pemandangan di depan
kaca kokpit mulai terang dan mulai terlihat daratan, sawah, sungai dan daratan
yang digenangi air. Rozaq harus berpikir keras bagaimana mendaratkan pesawat
yang sudah tak bertenaga seperti terbang layang ini dengan risiko seminimal
mungkin.
Sebelum mengambil keputusan,
Rozaq mengajak berdiskusi kopilot Haryadi. Mengobservasi lingkungan sekitar
untuk mengumpulkan data.
"Kita sebaiknya emergency landing
di mana?" tanya Rozaq pada Haryadi.
"Bagaimana bila di sawah
itu?" demikian respons Haryadi seperti disampaikan Rozaq.
"Itu banjir, saya tidak tahu
ada apa di sawah itu. Yang jelas, kalau mendarat di situ, semua mati,"
timpal Rozaq pada Haryadi.
"Itu ada sungai, kalau di
sungai itu bagaimana? Itu ada sungai, kita tidak tahu kedalamannya berapa,
arusnya bagaimana. Pertama, pesawat itu yang jelas impact. Meski tidak tahu
kedalamannya, yang jelas impact dengan air, masih ada kemungkinan yang hidup,"
papar Rozaq mengutarakan argumen pada Haryadi.
Dua jembatan yang dilihat pilot Rozaq |
Akhirnya, mereka berdua setuju
melakukan pendaratan darurat di sungai itu. Pesawat lantas dibelokkan ke kiri,
tujuannya menyejajarkan posisi pesawat dengan sungai. Namun, ada masalah. Ada 2
jembatan berdiri di tengah sungai itu. Keduanya memiliki tiang pancang yang
berdiri di tengah sungai. Gawat, bila pesawat menabrak tiang jembatan, maka
pendaratan darurat ini kemungkinan bisa memakan banyak korban fatal.
"Saya melihat di depan ada
jembatan. Tadinya mau saya arahkan ke bawah jembatan. Ternyata ada tiang-tiangnya.
Saya sejajarkan pesawat saya dengan sungai, jadi terbang dari arah utara ke
selatan. Saya belok kiri, kemudian saya melihat ada jembatan satu lagi.
Jembatan itu harus saya lewati, kemudian ada jembatan satu lagi," jelas
Rozaq.
Begitu pesawat dibelokkan ke
kiri, kopilot terus memantau ketinggian. Pesawat sudah berada di ketinggian 3
ribu kaki dengan kecepatan 180 knot. Begitu pesawat belok tajam, kopilot
berteriak "Bank-bank-bank!". Teriakan Haryadi itu mengindikasikan
peringatan bahwa pesawat berbelok terlalu tajam.
"Kalau tidak tajam, kita
tidak bisa mendarat di sungai. Sudah tidak ada instrumen," jelas Rozaq
pada Haryadi.
Sebelum menyentuh sungai, Rozaq
berteriak 'BRACE FOR IMPACT!', perintah yang mengharuskan penumpang pesawat
meringkuk, kepala didekatkan ke lutut, untuk meminimalkan efek guncangan.
Kemudian saat mendarat, tail atau
ekor pesawat itu kena batu besar. Saat dilakukan pengereman maksimal, pesawat
tiba-tiba berhenti dengan posisi miring ke kanan.
"Pesawat belok ke kanan
sendiri. Setir saya dorong ke kanan. Kemudian pesawat berhenti dan berbelok ke
kanan sendiri, dan saat berhenti saya menyadari bahwa pesawat berbelok kanan
persis menghadap kiblat," kenangnya.
Pesawat berbelok ke kanan |
Belakangan pilot Rozaq mengetahui
bahwa sungai tempat pendaratan itu adalah Sungai Bengawan Solo. Jarak antara
dua jembatan yang melintang di tengah sungai itu adalah 1.500 meter atau 1,5
km. Saat mendarat di air, pesawat melewati jembatan pertama dan sempat meluncur
sejauh 100 meter. Sedangkan jarak dengan jembatan berikutnya berkisar 300-500
meter dari posisi pesawat berhenti.
Bersambung...
Sumber: www.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar