JANTUNG Buya Hamka terasa berdebar-debar menanti apa yang akan
diucapkan istrinya, Ummi Siti Raham, ketika diminta berpidato. Ummi yang
belum pernah naik mimbar menyanggupi permintaan pembawa acara untuk
berpidato pada sebuah pengajian di suatu tempat di Makassar tahun 1967.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” dengan lancar Ummi
membuka sambil tetap tersenyum.
“Saya diminta berpidato tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak
sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato
seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato, sejak
dari memasakan makanan hingga menjaga kesehatannya. Oleh karena itu
maafkan saya tidak bisa bicara lebih panjang. Wassalamu’alaikum
warrahmatullah,” Ucapnya yang singkat lalu turun dari mimbar.
“Diluar dugaan, hadirin yang ribuan jumlanya bertepuk tangan riuh
sekali.” tulis Rusydi yang menceritakan pengalaman ayahnya, Buya Hamka,
dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka. Kejadian itu membuat Buya
Hamka menitikkan air mata. Para hadirin pun berteriak, “Hidup Ummi,
hidup Ummi!”
Apa yang diucapkan Ummi dalam “pidato” saat kejadian itu memang
diakuinya sebuah kenyataan. Selama 43 tahun, dengan setia Ummi menemani
perjuangan suaminya sebagai seorang penulis, pejuang, politikus hingga
ulama. Tidak hanya menemani, pilihan jalan hidup Sang Ulama ini juga
pernah diputuskan oleh Ummi.
Menurut Rusydi, tak ada tanda-tanda kecemasan pada wajah Ummi. Ummi
tak takut kehilangan gaji suaminya sekian ribu rupiah. Begitu juga jatah
beras yang biasa diterima tiap bulan. Dengan tenang Ummi menjawab,
“Kita kan tak pernah menjadi orang kaya dengan kedudukan ayah.” Lalu
dengan senyum Ummi menghibur suaminya, “Jadi Hamka sajalah!”
“Ayah menitikkan air mata menatap wajah Ummi yang seolah-olah tak
sadar, ucapan-ucapannya telah menguatkan hati ayah sebagai seorang
pejuang menentukan keputusan yang pasti.” Lanjut Rusydi mengisahkan.
Memang benar, keputusan meninggalkan jabatan pegawai negeri membuat
keluarga Hamka mengalami hari-hari yang sulit dan merubah jalannya
sejarah kehidupan Hamka. Keputusan tetap menjadi jalur penentang
Presiden Soekarno yang telah menerapkan Demokrasi Terpimpin saat itu
membuatnya masuk daftar tahanan politik di kemudian hari.
Tak hanya Ummi Siti Raham, Nur Nahar juga punya sikap teladan yang
selalu diingat suaminya, Mohammad Natsir. Pengalaman kehidupan mantan
Perdana Mentri Republik Indonesia ini dengan Nur Nahar, yang juga
dipanggil Ummi, dimulai ketika awal-awal pernikahannya. Sekolah
Pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan Natsir sebelum Indonesia
Merdeka mengalami kesulitan keuangan setelah sang donatur utama, Haji
Muhammad Yunus, meninggal. Berbagai cara Natsir lakukan untuk tetap
menghidupi sekolah tersebut. Salah satunya menggadaikan gelang emas
milik istrinya. Perhiasan ini bukan pemberian Natsir, tapi sudah
dimiliki sang istri sebelum mereka menikah. Nur Nahar bersedia
menggadaikannya.
“Gelang emas Ummi yang satu-satunya itu mempunyai riwayat. Kalau
Pendis sudah dalam kesulitan, maka gelang emas itu berpindah tempat dari
tangan istrinya ke lemari pajak gadai. Kalau keadaan agak senggang
sedikit, ia tebus kembali.” tulis Tim Penyusun Muhammad Natsir 70 Tahun
Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Seringnya gelang emas milik istrinya berpindah ke pegadaian menjadi
kenangan terindah. Natsir pun lupa sudah berapa kali gelang itu
berpindah ke pegadaian. Yang paling diingat Natsir adalah tidak pernah
melihat wajah istrinya berubah atau mendung di waktu dia terpaksa harus
menggadaikan gelang emas ke pegadaian. Semua itu dilakukannya untuk
berbakti kepada Allah.
Sikap takjub Natsir kepada Nur Nahar sudah terlihat sejak ia bersedia
mengajar di Sekolah Pendis yang baru berdiri. Pilihan Natsir untuk
berkhidmad pada agama memutuskannya mendirikan sebuah sekolah Pendis.
Keputusan ini membuat jalan hidupnya penuh liku terutama dalam harta dan
penghidupan. Padahal, sebagai lulusan AMS ia bisa memilih menjadi
pegawai pemerintah dengan gaji yang mapan, tapi ditolaknya.
Di saat mendirikan Pendis itu pula ia menemukan sosok Nur Nahar yang
bersedia menjadi guru tingkat Taman Kanak-kanak. Sama seperti keputusan
Natsir, Nur Nahar yang sebelumnya bekerja di sebuah sekolah yang didanai
pemerintah dengan gaji yang terbilang besar, juga memutuskan untuk
berhenti dan ikut bergabung ke Pendis dengan gaji seadaanya. Nur Nahar
tidak melihat besarnya penghasilan, tapi tertarik dengan misi dan
cita-cita yang dibawa oleh Natsir. Natsir jatuh hati dan menikahinya
dalam kondisi pas-pasan dan seadanya.
Cerita pengorbanan sang istri juga dialami Sjafruddin Prawiranegara.
Meski menjabat sebagai mentri, Sjafruddin bukanlah pejabat yang penuh
denga kemewahan. “Keadaanya jauh lebih sederhana, malah dekat kepada
melarat.” Kata Ajip Rosyidi dalam Sjafruddin Prawira Negara Lebih Takut
Kepada Allah. Keadaan ini yang menjadi pengorbanan sang istri
Sjafruddin, Teuku Halimah, berjuang mempertahankan kebutuhan keluarga.
Berjualan sukun menjadi cara sang istri mentri, yang akrab dipanggil
Lily, membantu suami memenuhi kebutuhan keluarganya.
BERSAMBUNG
Sumber: https://www.islampos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar